Surakarta, LensaProNews — Di sudut-sudut kota yang dahulu ramai oleh deretan becak, kini mulai tergantikan oleh motor dengan logo transportasi online. Keberadaan tukang becak tradisional semakin terdesak, dan mereka merasa perlahan-lahan dilupakan oleh perkembangan zaman.
Pak Slamet (60), tukang becak yang sudah menarik pedal sejak tahun 2000, duduk lesu di pinggir jalan di depan Robinson Mall, di bawah flyover Jl. Slamet Riyadi, Sondakan, Kec. Laweyan, Kota Surakarta. “Sehari kadang lima puluh, enam puluh, kadang ya ga narik seharian.” Ujar pak Slamet (60). Pada hari itu, saat diwawancarai, Pak Slamet mengaku bahwa hanya mendapat satu penumpang saja dari pagi hingga sore.
Menurutnya, kehadiran driver online memang membawa kemudahan bagi masyarakat, tetapi tidak sedikit menyisakan luka bagi para tukang becak. Mereka yang selama puluhan tahun hidup dari mengayuh becak, kini harus bersaing dengan teknologi yang lebih canggih.
Ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang akses terhadap ekonomi modern. Banyak tukang becak hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa jaminan kesehatan, tanpa penghasilan tetap, dan tanpa perlindungan sosial. Sementara itu, perusahaan transportasi online terus berkembang dan mendapatkan investasi besar-besaran dari dalam maupun luar negeri.
Pemerintah dinilai belum cukup adil dalam menanggapi fenomena ini. Program bantuan sering kali tidak menyentuh langsung para tukang becak, yang mayoritas berusia lanjut dan tidak memiliki akses informasi digital.
Harapan kedepannya pemerintah juga memberikan perhatian khusus pada tukang becak. Memberi regulasi yang adil atau program bantuan agar tidak tersisih sepenuhnya. Karena dibalik kemajuan teknologi dan kepraktisan layanan digital, masih ada wajah-wajah lelah yang berharap tetap dihargai. Persaingan ini bukan sekedar pedal dan mesin, tetapi juga tentang ruang hidup dan keberlanjutan warisan budaya kota.
Penulis : Cikal Ayudia Aorora